detik1.id // Penetapan empat tersangka dalam kasus dugaan korupsi program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) di Kabupaten Sumenep oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur menimbulkan sejumlah pertanyaan di kalangan publik. Pasalnya, dari sekian banyak pihak yang terlibat dalam pelaksanaan program tersebut, hanya para fasilitator BSPS yang kini harus mendekam di balik jeruji besi.
Pertanyaan pun mencuat: apakah ini murni proses hukum yang objektif, atau justru ada upaya untuk mengalihkan perhatian dari pihak-pihak lain yang diduga memiliki peran lebih besar dalam skandal tersebut?
Secara logika, sulit membayangkan sebuah program bernilai miliaran rupiah yang bersumber dari pemerintah pusat hanya dijalankan oleh empat orang fasilitator tanpa keterlibatan pihak berwenang di tingkat lebih tinggi. Program sebesar BSPS lazimnya berada dalam pengawasan dan koordinasi banyak pihak, termasuk tokoh politik, pejabat daerah, hingga kementerian teknis terkait.
Indikasi adanya “kekuatan besar” di balik kasus ini mulai mencuat dari pernyataan Ketua Garuda Sakti Bersatu (Garda Satu) Jawa Timur, Badrul, yang menilai terdapat upaya sistematis untuk membatasi ruang penyidikan. Dalam keterangannya, Badrul menyebut bahwa program BSPS di Sumenep merupakan aspirasi dari Said Abdullah, politikus senior PDI Perjuangan sekaligus Ketua Badan Anggaran DPR RI.

Pernyataan itu semakin menarik perhatian publik karena Said Abdullah diketahui merupakan paman dari Bupati Sumenep, Achmad Fauzi Wongsojudo. Keterkaitan politik dan keluarga ini menimbulkan spekulasi bahwa pengusutan kasus BSPS berpotensi menyentuh lingkar kekuasaan yang lebih tinggi.
Meski demikian, hingga kini belum ada bukti hukum yang secara langsung mengaitkan Said Abdullah atau pejabat daerah tertentu dalam perkara ini. Namun, fakta bahwa program aspirasi tersebut melibatkan dana besar dan struktur pengawasan berlapis menuntut aparat penegak hukum untuk melakukan penyelidikan yang menyeluruh dan tidak berhenti pada “kaki tangan” di lapangan saja.
Publik kini menanti keberanian Kejaksaan Tinggi Jawa Timur untuk menelusuri aliran dana dan rantai komando di balik pelaksanaan program BSPS tersebut. Jika penyidikan hanya berhenti pada level fasilitator tanpa menyentuh aktor utama yang mungkin berperan lebih besar, kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum akan semakin terkikis.
Apakah keempat fasilitator BSPS ini hanyalah korban tumbal politik dari permainan kekuasaan yang lebih besar? Ataukah memang merekalah pelaku utama dalam skandal korupsi ini?
Waktu dan keberanian aparat penegak hukum akan menjadi penentu jawabannya.
Opini Oleh: Nurifan Hairi. SH., Asal Kepulauan Raas
















