Jakarta, detik1.co.id // Di balik manisnya industri makanan dan minuman nasional, tersembunyi struktur impor gula rafinasi yang dikuasai oleh segelintir korporasi besar. Sebanyak 11 perusahaan yang tergabung dalam Asosiasi Gula Kristal Rafinasi Indonesia (AGRI) menjadi pemain utama dalam distribusi gula rafinasi di Indonesia komoditas vital yang sepenuhnya bergantung pada pasokan dari luar negeri.
Melalui izin khusus dari Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian, perusahaan-perusahaan tersebut mendapatkan kewenangan untuk mengimpor gula mentah (raw sugar) dari negara pemasok utama seperti Thailand, Australia, dan Brasil. Gula mentah itu kemudian diolah di dalam negeri menjadi gula kristal rafinasi (GKR) yang dipasok secara eksklusif untuk sektor industri, seperti makanan, minuman, farmasi, dan kosmetik.
Daftar 11 Perusahaan Penguasa Impor Gula Rafinasi: PT Angels Products, PT Jawamanis Rafinasi, PT Sentra Usahatama Jaya, PT Permata Dunia Sukses Utam, PT Dharmapala Usaha Sukses, PT Sugar Labinta, PT Duta Sugar International, PT Makassar Tene, PT Berkah Manis Makmur, PT Andalan Furnindo, PT Medan Sugar Industry.
Sebelas entitas inilah yang mengatur keluar-masuknya jutaan ton gula mentah setiap tahun. Pada tahun 2022 saja, alokasi impor raw sugar* untuk kebutuhan industri mencapai 3,4 juta ton—angka yang nyaris setara dengan total kebutuhan gula rafinasi nasional.
Padahal, Indonesia sejatinya memiliki potensi besar dalam budidaya tebu lokal. Namun, produksi dalam negeri belum mampu mencukupi kebutuhan industri. Dari total kebutuhan gula nasional sebesar 4,5–5 juta ton per tahun, hanya sekitar 2,5–3 juta ton yang mampu diproduksi secara lokal. Sisanya, khususnya untuk kebutuhan industri, harus dipenuhi melalui impor.
Proses perizinan untuk impor gula rafinasi juga sangat ketat. Tidak semua pihak bisa ikut serta dalam skema ini. Perusahaan harus mengajukan rencana produksi, laporan realisasi, serta surat pernyataan yang menyatakan bahwa gula rafinasi tidak akan disalurkan ke pasar ritel. Persetujuan teknis dari Kementerian Perindustrian menjadi syarat utama sebelum Kementerian Perdagangan dapat menerbitkan izin impor.
Struktur yang tertutup ini menimbulkan pertanyaan besar tentang transparansi, akuntabilitas, dan potensi praktik kartel. Dengan hanya 11 perusahaan yang menguasai seluruh pasar gula rafinasi, terdapat risiko pengendalian harga dan pasokan oleh kelompok terbatas.
Lebih dari itu, publik hampir tidak memiliki akses terhadap rincian kuota impor per perusahaan, asal negara pemasok, maupun detail proses distribusinya. Padahal, gula rafinasi merupakan elemen penting dalam rantai pasok pangan nasional.
Kekhawatiran terhadap ketimpangan ini turut disuarakan oleh Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PKB, Nasim Khan. Ia menegaskan bahwa berbagai masukan dan kritik terkait pengendalian impor gula rafinasi telah disampaikan ke lintas lembaga, termasuk Komisi IV DPR RI yang membidangi pertanian, BUMN, Sinergi Gula Nusantara (SGN), DANANTARA, serta pihak terkait lainnya.
“Sudah kami sampaikan semua hal tersebut ke rekan-rekan Komisi Pertanian DPR RI, BUMN, SGN, DANANTARA, Kementerian Perdagangan dan lainnya. Semoga ke depan sektor pertanian, khususnya pergulaan, bisa lebih baik dalam segala hal. Doa bi doa,” ujar Nasim.
Ia mengingatkan bahwa kepercayaan petani terhadap budidaya tebu yang mulai tumbuh dalam beberapa tahun terakhir bisa kembali luntur bila situasi ini tidak segera diperbaiki.
“Saya sangat khawatir, petani yang beberapa tahun terakhir sudah mulai percaya dengan budidaya tebu bisa kapok menanam tebu,” tambahnya.
Lebih lanjut, pria asal Asembagus, Jawa Timur ini juga menyampaikan bahwa para petani tebu membutuhkan dukungan nyata, sebab tata niaga gula, terutama gula dari tebu rakyat, saat ini sedang mengalami krisis.
“Kondisinya sekarang, tidak ada pedagang besar yang mau membeli. Jadi kami berharap ada solusi konkret untuk kesejahteraan petani tebu rakyat,” pungkasnya, menirukan keluhan para petani.